PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN
MIPA
A. Pendekatan Pembelajaran MIPA
a. Pengertian
PendekatanPendekatan artinya usaha dalam rangka aktivitas penelitian
untukmengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, atau metode-metode
untukmencapai pengertian tentang masalah penelitian.b. Pendekatan-pendekatan
Dalam PembelajaranWalaupun hitungannya tidak sebanyak metode, pendekatan juga
memilikikibanyak alternatif. Ada pendekatan Sejarah, pendekatan nilai,
pendekatan lingkungandan sebagainya.Untuk mengajarkan Matematika dan ilmu
pengetahuan Alam (MIPA),ada tiga pendekatan utama. Pendekatan pertama
memberikan tekanan kepadaproses-proses pembelajaran di manfaatkan untuk
mengungkapkan fakta danmengembangkan model.Ketiga Pendekatan itu adalah
1. Pendekatan faktual.
Pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan menggunakan
pendekatan-pendekatanFaktual terutama bermaksud untuk menyodorkan hasil dapat
memperoleh informasiseperti: Sumber Daya Alam (SDA) terbagi dua yaitu dapat
diperbaharuidan yang tidakdapat diperbaharui.
2. Pendekatan Konseptual.
Konsep adalah benda-benda, kejadian-kejadian, situasi-situasi atau
ciri-ciriyang memiliki ciri khas dan mewakili dalam setiap budaya oleh suatu
beda atausimbol. Jadi, konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang
mempermudahkomunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berputar
(bahasa ataualat berpikir).
Implikasi
Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning) menekankan pada kegiatan proses belajar mengajar yang berbasis pada aktivitas
siswa dan melibatkan sumber belajar yang nyata dan ada di sekitar siswa. Untuk
pendidikan IPA, khususnya di SD yang bertujuan untuk mengembangkan sikap ilmiah
siswa (menjadi seorang anak yang melek sains, bukan ahli sains), penerapan prinsip-prinsip
pembelajaran kontekstual sangat cocok dilakukan dalam proses belajar mengajar
IPA. Menurut National Academy of Sciences (dalam Nur, 2001) prinsip-prinsip
dalam perangkat pembelajaran kontekstual IPA tersebut meliputi: (1) IPA adalah
untuk semua siswa dan (2) pembelajaran IPA merupakan proses aktif.
Prinsip yang pertama, IPA adalah
untuk semua siswa, mengandung arti bahwa semua siswa dapat mencapai pemahaman
apabila mereka diberikan kesempatan, tetapi akan dicapai dengan cara dan pada
kedalaman yang berbeda, serta kecepatan yang berbeda pula. Untuk mengakomodasi
kemampuan siswa yang beragam tersebut, maka perlu disusun suatu perangkat
kegiatan (Nur, 2001) sebagai berikut. (1) Kegiatan dasar yang dirancang untuk
seluruh rentang kemampuan pemahaman siswa, sebagai upaya untuk memperkuat konsep
yang disajikan, misal demonstrasi, lab mini, LKS sebagai panduan belajar, dan
pengembangan keterampilan proses. (2) Kegiatan penerapan yang dirancang untuk
siswa-siswa yang telah menguasai konsep-konsep yang telah disajikan, misalnya
aplikasi beberapa materi (judul) LKS dalam kehidupan sehari-hari. (3) Kegiatan
menantang yang direncanakan bagi siswa-siswa yang mampu belajar melampaui
konsep-konsep dasar yang disajikan, misalnya berupa kegiatan penelitian
sederhana untuk menguji hipotesis atau merancang eksperimen sendiri.
Prinsip yang kedua, pembelajaran IPA
merupakan proses aktif, memiliki makna bahwa pembelajaran IPA merupakan sesuatu
yang dilakukan oleh siswa, bukan sesuatu yang dilakukan untuk siswa (Nur,
2001). Pernyataan ini memiliki implikasi terjadinya proses aktif untuk siswa
berupa: (i) aktivitas mental, yaitu: mendeskripsikan obyek dan kejadian,
mengajukan pertanyaan, mengkomunikasikan ide-ide; dan (ii) aktivitas fisik,
berupa pengalaman sensori motor untuk mengembangkan ide-ide abstrak. Intinya
bahwa pengajaran IPA harus melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan
berorientasi inquiri (Lawson, 2000). Perangkat pembelajaran IPA seperti ini
juga memberikan kemudahan bagi guru untuk menerapkan strategi pengajaran yang
bervariasi untuk kelompok-kelompok siswa dengan gaya belajar yang berbeda
(kinestetik, visual, dan auditorial).
Pembelajaran kontekstual menurut
Blanchard (2001) dapat diterapkan melalui strategi-strategi berikut : (i)
menekankan pada pemecahan masalah; (ii) menyadari kebutuhan akan pembelajaran
yang terjadi dalam konteks, seperti di rumah, masyarakat, dan lingkungan kerja;
(iii) mengajar siswa memonitor dan mengarahkan pembelajarannya sendiri (menjadi
pebelajar mandiri); (iv) mengkaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa
yang berbeda-beda; (v) mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman dan
belajar bersama; dan (vi) menerapkan penilaian autentik. Penerapan
strategi-strategi pembelajaran kontekstual tersebut di atas (dalam PBM IPA),
memberikan implikasi pada perlunya pemberian bantuan (scaffolding) dalam proses
pembelajaran melalui peer collaboration oleh teman sebaya yang lebih
berkompeten (Tudge, 1994). Untuk mewujudkan belajar bersama (belajar dari
sesama teman) dalam PBM IPA, maka perlu diupayakan pengaturan kegiatan kelas dalam
bentuk kelompok-kelompok kecil siswa (peer mediated instruction) dari pada
bentuk kelas utuh.
Peer mediated instruction dapat
diwujudkan melalui pengaturan kelas dengan cara menerapkan teknik-teknik
belajar kooperatif sebagai rancangan pembelajaran yang bernuansa kolaborasi
(Nelson, 1999; Nur & Samani, 1996; Slavin, 1994; Slavin, 1995).
Implementasi strategi ini secara ekstensif akan membawa siswa ke arah
terjadinya perkembangan kognitif dalam konteks sosio-kulturalnya (Hedegaard,
1994), yang dalam istilah lain (Gardner, 1991) menyebutnya sebagai “pemagangan
kognitif”. Di samping itu, pembelajaran kooperatif berimplikasi pada terjadinya
cognitive elaboration dan peer copying model.
Berdasarkan perspektif psikologi
sosial dan psikologi kognitif, strategi pembelajaran kooperatif sejalan dengan
teori perkembangan Vygotsky yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melalui
proses interaksi sosial (Moll, 1994), yaitu interaksi siswa dengan anggota
komunitasnya yang lebih “mumpuni” (masyarakat, sekolah, keluarga, dan teman
sebaya). Interaksi sosial tersebut akan dapat menciptakan terjadinya pemrosesan
informasi pada individu siswa, sehingga siswa mampu melakukan self-efficacy dan
self-regulation. Hal ini akan berpengaruh positif terhadap motivasi dan prestasi akademik (Slavin,
1995), penghargaan diri, perbaikan sikap siswa (kecintaannya) terhadap teman
sebaya, sekolahnya (Jacob, 1999), serta mata pelajarannya, gurunya, dan lebih
terdorong untuk belajar dan berpikir (Lie, 2002).
No comments:
Post a Comment